Kadang, Menulis itu bermakna menumpahkan isi kepala
atau sekali waktu berupa guratan warna kalbu
mungkin juga sekadar menarikan kembali jemari sesudah penat menghebat
meski sesekali, boleh jadi menulis berarti membebat luka hati
sumber: argentinepost.com |
Selama ini saya menikmati menuliskan apa-apa yang saya inginkan. Kebanyakan merupakan cerita keseharian, atau sekali dua berupa lintasan pemikiran. Mencoba merangkainya, meski sederhana. Dan membiarkan jemari bercerita.Namun ketika membaca apa-apa yang dituliskan teman-teman,rasanya apa yang saya tuliskan menjadi sangat sederhana. Seperti masakan rumahan yang disandingkan dengan hidangan restoran.
Sekali dua, saya termotivasi untuk bisa. Paling tidak, memodifikasi masakan saya sehingga bercita rasa chef ternama, meski penampakannya sama saja. Atau kadang, saya memaksakan diri membeli piranti hidang yang lebih elegan, hanya agar penampakan masakan saya, tak kalah cantik dengan yang biasa terpampang di majalah. Tapi lalu saya lelah. Aktivitas memasak yang biasanya saya sukai, perlahan berubah membebani. Lebih-lebih ketika ada tamu yang berkunjung, dan saya tergopoh menyajikan camilan. Sambil ketar-ketir menanti apa kata tamu saya. Tidak lagi puas dengan tulusnya terima kasih setiap kali anak dan suami menikmati masakan saya sesederhana apapun hasilnya.
Belakangan saya menyadari, beberapa kali saya kehilangan ketulusan. Saya sibuk membandingkan mana yang lebih enak, mana yang terlihat lebih lezat memikat, atau mana yang berpeluang besar untuk dikembangkan sebagai bisnis rumahan. Tentu tidak ada yang keliru dari proses belajar dengan meniru, namun menjadi masalah ketika dalam proses itu yang muncul adalah perasaan kalah dan perlahan menyerah. Masalah berikutnya adalah proses meniru yang bablas menuju lunturnya orisinalitas.
Seingat saya, yang terpenting ketika menulis adalah menemukan cuilan kebahagiaan. Entah dengan menumpahkan isi kepala, mencoretkan rasa, menjadikannya terapi hati atau bahkan sekadar menghibur diri. Namun ketika saya merasa menulis telah kehilangan kemampuan ajaibnya untuk memberikan penghiburan, maka ada hal yang patut dipertanyakan. Adakah saya terlalu sibuk menuruti ambisi mencipta masakan terenak sedunia, atau menghasilkan masakan yang lebih ciamik dari si cantik, hingga saya akhirnya justru lupa untuk menikmati pelajaran memasak itu sendiri. Jika demikian, pantas kiranya jika kebahagiaan-meski sederhana, enggan bertandang.
I agree mba, menulis, memasak, mendesaign -apapaun deh-, harus dengan hati.
ReplyDeleteArtinya, kudu tulus.
Sesuatu yang bagus tapi sebenarnya punya niat buruk, rasanya jadi tidak enak.
Iya kan dek..dan memang terasa lho, tulus tidaknya itu.
ReplyDelete