1.30.2013

Berlarilah, hingga Jannah

"ayo, kamu pasti bisa. sedikiit lagi" 
"tinggal beberapa meter. tepat di depan sana nanti, kamu boleh mengambil napas lebih panjang" 
"lihat, sebentar lagi, sebentar lagi, kawan!"

Itu adalah kalimat yang saya ingat betul terus-menerus saya bisikkan. Berulang-ulang.





SD Negeri Baluwarti, tempat saya bersekolah dulu terletak di pinggir sawah dan tidak memiliki lapangan olah raga sendiri. Maka setiap jam olahraga, kami berbaris rapi kemudian diarak ke lapangan kota yang jaraknya lumayan jauh, apalagi bagi anak SD saat itu. Namun kami tidak keberatan, dan menjalaninya dengan hati riang. Sebab disana nanti kami bisa puas bermain kasti, lalu jajan es limun atau buah potong sesuai pilihan (meskipun sebenarnya kami membawa botol minuman sendiri dan dihimbau pak guru untuk tidak jajan sembarangan)

Namun kala itu tidak seperti biasanya, pak guru meminta kami berlari mengelilingi lapangan. Saya, sebagai murid yang terkenal seringkali minta izin tidak ikut olah raga karena fisik yang lemah, tentu saja mengeluh dalam hati. Lari? Olahraga yang saya benci. Lebih tepatnya, saya benci mata pelajaran olahraga, apapun bentuknya. Saya tidak bisa berlari sekencang teman-teman lain, saya selalu menjadi sasaran empuk bagi lawan dalam permainan kasti, dan bahkan saya pernah muntah dan nyaris pingsan ketika memaksakan diri berlari keliling lapangan di atas pukul delapan.

Tapi saat itu, saya ingin menang. Bukan menang atas perlombaan yang dirancang pak guru. Bukan. Tapi memenangkan garis finish. Saya bosan menjadi penonton di pinggir lapangan. Saya bosan diingatkan untuk mencari tempat teduh di bawah pohon, dan saya juga telah bosan dengan prestasi mentok sebagai pemimpin senam pemanasan.

Maka ketika pak guru menginstruksikan saya agar tidak ngoyo, saya enggan mengangguk. Sekali ini, saya ingin menang. Saya ingin membuktikan, pada diri saya sendiri, bahwa saya bisa. Saya bisa memenangkan garis finishnya. Saya akan merampungkan misi mengelilingi lapangan itu lima kali, persis seperti perintah pak guru saat itu.

Maka saya berlari. Berusaha terus mengayun kaki. Meski kemudian satu persatu teman-teman mendahului, saya bisikkan bahwa saya memang memiliki ritme sendiri. Perlahan, namun pasti. Saya jelas ketinggalan, tapi saya menolak mempedulikan.

Putaran ketiga, dan rasanya seluruh tubuh saya terbakar. Saya telah mengerahkan segala daya yang saya miliki. Sementara teman-teman melanjutkan dengan langkah-langkah panjang dan wajah bersinar. Saya memasang wajah penuh tekad. Saya harus menyelesaikan putaran keempat, lalu memulai untuk yang kelima.Harus. Kali ini, saya harus menang.


Lima menit lagi, kawan..ayoolaah

Hanya tinggal satu putaran. Dan coba tebak siapa yang telah berjuang di tiga putaran sebelumnya?
Luar biasa,teman.

Kamu lihat garis itu? itu garis kemenanganmu. Lelahmu pasti bisa menunggu.

Saya menjalani dua putaran dalam monolog tanpa jeda. Benar-benar dua putaran yang dihujani bujuk rayu, kalimat-kalimat penyemangat, serta pengulangan mantra "aku bisa". Saya terus membujuk kaki saya agar melanjutkan ayunannya. Saya menunda sergapan rasa sakit dengan terus menerus bicara. Hanya bicara, bicara dan bicara.


Itu adalah satu diantara kenangan masa kecil saya yang lekat hingga kini. Kenangan yang sering saya putar ulang di saat saya merasa rapuh. Ketika dihadapkan pada tantangan, dan saya merasa terlalu takut untuk menyambut. Atau ketika saya merasa terlalu nyaman, dan mandeg dengan hal-hal ajeg.
Kadang, hanya butuh keyakinan yang menjiwai usaha untuk mengalahkan keterbatasan. Tidak cukup sekali, berjuta kali keyakinan itu harus senantiasa diperbarui. Dan tentu saja, tidak ada yang menjanjikan kenyamanan dalam perjalanan. Keyakinan sebagai jiwa membutuhkan raga, berwujud peluh, bahkan air mata. Bersedia berpayah dan tetap dalam keyakinan bagaimanapun caranya, itulah rumusnya.

Tahukah kalian kawan? Saya sungguh tidak ingin melupakan perasaan bahagia saya saat itu. Rasa bahagia ketika berhasil menjawab tantangan saya sendiri. Sebagaimana saya pun tidak ingin melupakan senyuman pak guru di garis finish. Untuk saya, peserta lombanya yang terakhir.


Postingan ini diikutsertakan pada motivawritter-giveaway










4 comments:

  1. Kisah yang inspiratif :)

    jadi pengen ikutan lari juga..hihihi...
    Sukses untuk Give Away nya yah :)

    ReplyDelete
  2. Love it,,
    punya cerita sejenis jaman sekolah dulu
    olah raga yang selalu membuahkan filosofi hidup ^^_

    si ibuk ini keren sekali, masih sempet ngontes kemana-mana dengan aktivitas bejibunnya. I adore U.

    ReplyDelete
    Replies
    1. weeeeeeeeeek..
      entah kenapa kalo pujian itu darimu, terasa janggal membacanya
      hahahaha

      aku sudah khatam baca tulisanmu buk

      Delete

Menyenangkan membaca komentar dari teman-teman. :D