7.26.2012

sebelah sayap

Kemarin, saya sempat dilanda galau luar biasa ketika mbak ari, pengasuhnya fayyadh minta dipulangkan.
Mbak ari berasal dari jogja, kampung halaman saya, dan diantar ke bengkulu oleh ibu dan adik saya untuk menemani fayyadh selama saya bekerja.
Jauh sebelum ramadhan, kami sudah membicarakan tentang rencana mudik, dimana pada saat itu dengan gamblang saya mengutarakan bahwa kami tidak berencana lebaran di jogja tahun ini.
Mbak ari pada saat itu tidak berkeberatan.
Namun memang tidak hanya lisan yang berbicara.
Tiga hari awal ramadhan mbak ari mengeluh pusing dan lemas, namun menolak diantar ke dokter.
Dan saya yang kemudian kebingungan.
Makin hari kondisi tubuhnya tidak membaik. Ditambah lagi pada saat itu fayyadh pun sedang disibukkan oleh batuk berdahak yang belum juga sembuh.
Tiga hari saya disibukkan dengan fayyadh yang agak rewel dan mbak ari yang kurang kooperatif terhadap upaya upaya memulihkan kesehatannya.
Hingga akhirnya saya menyimpulkan bahwa mbak ari homesick.

Kegalauan mulai mewarnai awal ramadhan saya.
Membelokkan rencana lebaran yang semula di bengkulu sebagaimana tahun lalu dan mengubah setting menjadi jogjakarta tercinta sempat terpikirkan.
Namun saya menolak untuk semakin jauh memikirkan kemungkinan tersebut.
Saya masih ingat benar, bahwa sayalah yang mengatakan bahwa tidak ada kosakata mudik ke jogja tahun ini, mengingat kami sedang menyiapkan dana pindahan ke rantau prapat, terkait permohonan ikut suami yang telah lama saya ajukan.
Bagaimana jika sewaktu waktu permohonan saya dikabulkan, SK diterbitkan, dan saya justru kebingungan dengan dana pindah yang diperlukan.
Namun di sisi lain, melihat mbak ari yang lemas, dan gelengan kepalanya tiap kali saya meminta dia ke dokter, membuat hati saya mencelos.
Sempat berpikir untuk mengantar mbak ari pulang sesegera mungkin, mumpung tiket pesawat belum terlalu mahal.
Mengambil cuti sebentar, dan segera kembali ke bengkulu.
Saya pikir itulah jalan tengah.

Dengan kegalauan yang masih tersisa, saya membicarakan hal ini dengan suami.
Dan beliau, sebagaimana biasanya, mampu menangkap ingin, yang bahkan coba saya ingkari
Mengatakan dengan ringan, bahwa beliau akan berburu tiket untuk kami pulang kampung lebaran ini.
"Kita akan lebaran di Jogja, bunda"
Saya, sebagaimana biasa, hanya sanggup tersenyum tanpa kata.
"Insya Allah akan ada rizkinya, bunda doakan ayah ya"
Dan sekali lagi, saya membisu, menyusut air mata haru.

Beliau, selalu begitu.
Mengetahui pinta yang tak terkata, lalu dalam diam menyiapkan.
Dan saya, selalu sama.
Merasa memiliki sebelah sayap untuk memetik segala mimpi.

Saya tahu benar, angka angka nanti yang akan berbicara.
Namun saya tahu bahwa suami saya pun benar, ada Yang Maha Kaya sebagai tumpuan segala doa.

3 comments:

  1. nangis aku mbak :(

    salam buat jogja ya...

    ReplyDelete
  2. cep cep cep..puk puk

    Dirimu g mudik taon iki nduk?
    InsyaAllah tahun ini adl taon pertama lebaran d jogja setelah nikah
    ^^

    ReplyDelete
  3. waw..dah lama dong mbak nggak lebaran di jogjanya..aku lebaran kali ini baru pertama kalinya berlebaran selain di jogja >.<

    ReplyDelete

Menyenangkan membaca komentar dari teman-teman. :D